Berdirinya IPNU
Berdirinya IPNU adalah babakan new era bagi
perjalanan generasi muda NU yang tergabung dalam IPNU. Sebelum
menggunakan nama IPNU, kegiatan mereka di berbagai tempat
bermacam-macam. Sebagian melakukan rutinitas keagamaan, seperti
tahlilan, yasinan, diba’/ berjanji, dst. Kelompok pelajar seperti itu
lebih banya ditemui di pesantran-pesantren dan di kampung-kampung.
Sebagian lagi, kelompok muda NU mengadakan di Sekolah-Pesantren, Sekolah
Umum dan Perguruan Tinggi. Sekalipun tergolong masih kecil jumlahnya.
Pendirian IPNU pada tahun tersebut, bukan tanpa proses. Beberapa
kegiatan yang telah disebut di atas. Sisi lainya adalah dengan melalui
musyawarah yang intensif, antara para kyai pesantren, pengurus NU dan
lembaga pendidikan Ma’arif NU. Termasuk yang tak kalah pentingnya
adalah kontribusi pemikiran aktivis kaum pelajar NU, lebih khusus di
Pesantren atau Sekolah.
Pilihan nama organisasi juga melalui proses. Bukti historis proses
tersebut sebagai berikut: beberapa tahun sebelumnya terdapat keragaman
nama bagi perkumpulan pelajar NU, seprti Tsamratul Mustafidin di
Surabaya tahun 1936, PERSANO (Persatuan Santri Nahdlotul Oelama) tahun
1945, Persatuan Murid NU tahun 1945 di Malang, Ijtima-ulth Tholabiyyah
tahun 1945 di Madura, ITNO (Ijtimatul Tholabah NO) tahuan 1946 di
SUmbawa, PERPENO (Persatuan Pelajar NO) di Kediri 1953, IPINO (IKatan
Pelajar NO) dan IPENO tahun 1954 di Medan, dll.
Mengingat perkumpulan tersebut satu sama lain kurang saling mengenal,
karena kelahiran mereka atas inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri.
Maka, maka dibutuhkan wadah yang sama dan satu induk. Satu hal yang
sewarna dan sejalan adalah pijakan pada dasar keyakinan Islam Ahlusunnah
Wal jama’ah. Juga atas dasar kebersamaan dan persatuan (ukhwah) sesama
umat Islam pemegang tradisi. Karena itu, IPNU merupakan induk dan
satu-satunya organisasi NU yang menangani kaum muda NU tingkat pelajar
NU, termasuk di Perguruan Tinggi. Ini juga yang membedakan dengan PMII,
yang lahir pada tahun 1960 dari Departemen Perguruan Tinggi PP IPNU.
Tepat tanggal 24 Pebruari 1954 M. bertepatan dengan 20 Jumadil Akhir
1373 H. di Semarang, pada konferensi besar Ma’arif NU se-Indonesia
menyepakati nama IPNU, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama sebagai
satu-satunya wadah berhimpun dan berkreasi Pelajar, Mahasiswa, Santri
dan remaja baik di Pesantren, Madrasah/sekolah maupun Perguruan Tinggi.
Gagasan ini dipelopori oleh Tolhah Mansur ( Fak. Hukum UGM ), fadlan
AGN ( Fisipol UGM ) dari Jatim, Mustahal achmad Masyhud ( Solo ) Sufyan
Kholil dan Abdul Ghoni Farida ( Semarang ) yang pada akhirnya dalam
Konferensi tersebut Mohammad Tolchah Mansur ditetapkan sebagai ketua
ummnya. Gagasan tersebut muncul karena memendang perlunya penyatuan
elemen gerak berbagai organisasi pelajar NU dalam satu wadah agar lebih
solid. Sejak saat itu, upaya pengembangan cabang terus dilakukan hingga
berdiri lima cabang yang dikenal dengan PANCA DAERAH ( Jombang, Solo,
Kediri, Semarang dan Yogyakarta )
Menindaklanjuti ketetapan Konbes Ma’arif itu, para pengurus mengadakan
konferensi lima daerah; Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Jombang dan
Kediri. Di Surakarta tanggal 29 April – 1 Mei 1954. putusan-putusan
penting pun dihasilkan; selain merumuskan tujuan, PD PRT, juga
menetapkan Tolchah Mansur sebagai ketua umum Pimpinan Pusat IPNU dan
menetapkan kota Yogyakarta sebagai kantor pusat organisasi. Mendapat
pengakuan resmi sebagai bagian NU pada Muktamar ke 20 di Surabaya, 9-14
September 1954, setelah ketua umum menyampaikan gagasan IPNU dihadapan
peserta Muktamar NU.
Untuk memperkokoh organisasi, IPNU melaksanakan Muktamarnya (baca:
Kongres) yang pertama pada tanggal 28 Februari 1955 di Malang Jawa
Timur. Ikut hadir dalam perhelatan Nasional itu adalah presiden RI
Soekarno. Hal ini juga sekaligus pengukuhan IPNU sebagai bagian
organisasi pemuda di Indonesia. IPNU pun mulai populer di tengah
masyarakat Indonesia. Lebih-lebih, surat kabar dan radio memberitakan
pidato Bung Karno pada Muktamar IPNU tersebut.
Sebagai organisasi pelajar dan terpelajar, beberapa tokoh pendiri IPNU
adalah orang-orang yang masih berpendidikan, seperti Mohammad Tolchah
Mansur (mahasiswa UGM Yogyakarta), dan Ismail (mahasiswa IAIN Sunan
Kalijogo Yogyakarta). Di daerah-daerah juga, para pengurus IPNU saat itu
banyak yang dipegang oleh para mahasiswa, seperti Mahbub Djunaedi dan
M. Sahal Makmun di Jakarta (mahasiswa UI). Beberapa kader IPNU lainya di
Pesantren adalah Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur (Ketua Tanfidziyah
PBNU 1984-1999) dan Ilyas Ru’yat dari Jawa Barat (Rais ‘Am 1994-1999).
Perjalanan IPNU dari masa ke masa
IPNU Pasca Kongres Jombang 1988
Perubahan zaman memang tidak bisa dihindari, tetapi dihadapi dan
dilaksanakan , pernyataan itu, berlaku untuk siapa dan apa saja,
termasuk juga organisasi IPNU. Tahun 1998, saat kongres ke-10 di
jombang, IPNU harus menghadapi perubahan zaman. Hal ini cukup berdampak
luas bagi keberadaan (eksistensi) IPNU ke depan. Perubahan ini,
setidaknya bersumber awal dari UU nomor 8 tahun 1985 yang ‘membabi buta’
dalam penerapan aturan tentang keormasan di Indonesia. Azas dan Nama
perubahan, karena tuntutan UU itu, seperti juga pada NU, tapi,
hakekatnya tetap, seperti tujuan, sasaran kelompok dll.
Kependekan nama IPNU dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama berubah menjadi
Ikatan Putra Nahdlatul Ulama. Bahkan ketika itu, tidak saja perubahan
kependekan ‘P’ termasuk dua huruf dilakangnya ( NU) juaga harus
dihapuskan. Karena, hal itu dianggap sebagi bawahan ( underbouw) partai
tertentu ( ingat, tahun 1950-an NU menjadi partai sendiri ). Syukur
Alhamduliilah, pada kongres itu akhirnya diputuskan untuk tetap menjadi
IPNU, hanya ‘P’-nya saja berubah ; dari Pelajar menjadi Putra. Hal
serupa juga, terjadi pada organisasi pelajar manapun, selain PII,
Pelajar Islam Indonesia.
Dengan berubahnya kependekan “P”, berubah pula orientasi dan sasaran
binaanya IPNU. Dari pelajar dan Mahasiswa sebagai sasaran utama, berubah
untuk dapat membina juga remaja yang tidak sekolah. Dapat disebut,
setelah kongres Jombang tahun 1988 hingga Kongres Garut tahun 1996
adalah masa Transisi yang bekepanjangan. Satu misal adalah tidak pernah
sampainya pemahaman yang sama tentang orientasi bidang garap IPNU,
berikut skala prioritasnya. Pada masa itulah terjadi tarik menarik
antara kepentingan politik praktis (politisasi IPNU) dengan prioritas
program untuk membenahai warga IPNU sector awal berdirinya IPNU; santri
dan pelajar. Hal ini, ternyata berdampak pada proses pengkaderan yang
pelan-pelan semakin hilang dari pesantren atau sekolah ma’arif NU.
IPNU kembali ke Khittah 1954: Deklarasi Makasar 2000
Melihat kenyataan IPNU yang masih dalam masa transisi diatas, maka
dalam menyambut millennium ke III, tahun 2000 di Kongres IPNU ke 13 di
Makasar, para kader IPNU memunculkan kesadaran bersama (common sense)
secara kolektif. Seakan-akan ada hal yang baris telah kembali lagi,
yakni sesuatu yang terasa hilang, yakni pada tahun 1988. sesuai
deklarasi Makasar 2000 dan hasil Kongres 13, adalah bahwa IPNU kembali
pada visi kepelajaran, lalu menumbuh-kembangkan IPNU pada basis
perjuangan; Sekolah dan Pondok Pesantren, dan terakhir mengembalikan CBP
(Corp Brigade Pembangunan) yang lahir 1965 sebagai kelompok
kedisiplinan, kepanduan dan kepecinta alaman. Semua itu dalam rangka
mencapai tujuan IPNU, yaitu terbentuknya Pelajar-Pelajar bangsa yang
bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, berakhlak muli dan berwawasan
kebangsaan, serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syariat
Islam menurut faham Ahlussunnah waljamaah yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Menegaskan Khittah 1954 pada Kongres XIV 2003 (Surabaya)
Deklarasi Makasar 2000 sebagai tonggak awal mengembalikan IPNU pada
orentasi garapan ternyata belum mampu mengakhiri problematika tersebut.
Pada Kongres IPNU ke 14 di Surabaya, para kader IPNU memunculkan
kesadaran bersama. Kesadaran itu adalah untuk merubah nama dan sekaligus
visi kepelajaran dan orientasi pengkaderan IPNU, khususnya di Pesantren
dan sekolah-sekolah. Artinya kongres telah mengembalikan IPNU pada
garis perjuangan yang semestinya. Secara popular, hal tersebut dikenal
dengan nama Khittah 1954. dengan demikian, perlahan tapi pasti, IPNU
berkesempatan untuk mengembalikan masa keemasan yang telah hilang,
seperti 15 tahun yang lalu. Akan tetapi, kesadaran itu pun sebenarnya
rentan, bahaya bila momen itu tidak digunakan dengan sebaik-baiknya dan
seoptimal mungkin oleh semua jajaran NU, khususnya IPNU, lebih khusus
lagi pesantren (baca: RMI) dan Ma’arif.
Karena itu IPNU, kini tengah memusatkan pikiran, sembari mengajak
bergandeng tangan dan merapatkan barisan pada semua eleman NU,
khususnya, untuk mengaktualisasikan kongres 2003 (khittah 1954), hingga
benar-benar nyata hasilnya bagi keluarga besar NU. Sehingga, bahwa IPNU
sebagai kader NU kawah candra dimuka atau garda terdepan dapat
benar-benar menjadi kenyataan. Jangan sampai terjadi lagi, IPNU
dijadikan sebagai lompatan politik praktis. Sebab IPNU diharapkan hanya
dijadikan lompatan untuk menciptakan kader NU yang terbaik dan maslahat
bagi bangsa Indonesia, pada umumnya. Hanya melalui pendirian komisariat –
komisariat, gagasan IPNU tersebut dapat direalisasikan dengan benar dan
tepat.
Tokoh – tokoh yang pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU adalah :
1. Rekan M. Tolhah Mansyur ( 1954 – 1960 )
2. Rekan Ismail Makki ( 1960 – 1963 )
3. Rekan Asnawi Latif ( 1960 – 1966 ; 1966 – 1970 )
4. Rekan Tosari Wijaya
5. Rekan Zainut Tauhid
6. Rekan Ahsin Zaidi
7. Rekan Hilmi Muhammadiyah ( 1996 – 2000 )
8. Rekan Abdullah Azwar Anas ( 2000 – 2003 )
9. Rekan Mujtahidurridho ( 2003 – 2006 )
10. Rekan Idi Muzayyad ( 2006 – 2009 )